Sabtu, 13 Oktober 2012

Uang dan Eksistensi Kita

Uang. Setiap orang tahu dan sadar, uang bukanlah sumber kebahagiaan. Namun, perburuan untuk mendapatkan uang dilakukan terus-menerus tiada henti. Setiap hari dari menit ke menit dipenuhi dengan banyak agenda untuk menumpuk kekayaan uang dan segala yang bisa diuangkan. Orang lupa dengan ritual kecil sepele, semisal membuka jendela pada pagi hari untuk merasakan embusan angin pagi, memperhatikan titik-titik embun di pucuk dedaunan, melayangkan pandangan sejenak di kebun untuk memperhatikan adakah bunga yang mekar, atau lainnya. Ritual semacam ini akan dianggap aktivitas tanpa guna yang hanya membuang-buang waktu saja.



Manusia pun seakan kehilangan sensitivitas. Pagi hari, mata terbuka sebab dikejutkan oleh dering jam beker. Lalu, buru-buru masuk kamar mandi dilanjutkan dengan sarapan selagi sempat. Setelah itu, deru kendaraan terdengar membahana meninggalkan asap kelabu melayang dan pudar di udara. Semua serba cepat dan tergesa-gesa. Tidak tersisa lagi tempat untuk menyenandungkan melodi alam. Tidak ada lagi ruang untuk larut dalam keheningan.

Ah, manusia hidup serasa menjadi kumpulan mesin terstruktur yang mudah sekali diprediksi. Masuk ke kantor, mengerjakan pekerjaan, siangnya makan di warung atau restoran, sorenya pulang ke rumah, atau sambil menunggu petang kongko-kongko di café. Di akhir pekan, sebagian menghabiskan hari bersama keluarga, ada yang shopping, di pusat perbelanjaan, atau melancong ke tempat-tempat wisata. Setelah akhir pekan selesai, rutinitas kembali berulang, hari demi hari.

Sahabat,

Begitulah, waktu dalam keseharian telah diatur dalam agenda padat. Manusia seakan kehilangan eksistensinya sebagai khalifah, sebagai hamba, dan sebagai dai (penyeru kepada kebaikan).

Maka tidak heran jika akhir-akhir ini kita menyaksikan “ulah” manusia yang jauh dari fitrah manusianya. Tawuran pelajar yang menewaskan beberapa “anak manusia”, kerusuhan dengan berdalih keyakinan, perang antar kampung, menabrak orang dengan tanpa busana, “permainan” elit politik, korupsi yang “dihalalkan”, gadis remaja yang rela “menyerahkan” kegadisannya demi ketenaran seorang artis, dan masih banyak lagi kejadian-kejadian “kehewanan” yang terjadi disekeliling kita.

Mengapa semua itu terjadi? Karena manusia telah memfokuskan dirinya untuk diri sendiri dan uang sebagai kepuasan yang ingin di raih. Manusia yang sejatinya sebagai mahluk sosial, kini telah hilang statusnya itu. Yang ada, manusia lebih cenderung individualis. Tidak lagi peduli dengan yang lainnya. Bahkan dengan keluarganya pun sudah lupa, semua karena ke-dahaga-an akan uang.

Ah, sadarlah wahai saudara-saudaraku. Berhati-hatilah, jangan sampai uang kita jadikan sebagai berhala dalam hidup. Luangkanlah waktu untuk hidup bermasyarakat, menebarkan kebaikan, dan yang terpenting dengan keluarga. Temani anak-anak kita dalam proses kedewasaannya. Janganlah anak-anak kita bernasib sama dengan orang-orang yang telah kehilangan eksistensinya. Lingkungan keluarga adalah pembentuk pertama mantal dan karakter anak-anak kita. Janganlah hanya dengan alasan demi kelangsungan hidup masa depan, lalu kita berjuang keras mengumpulkan uang, namun lupa dengan makna keluarga itu sendiri.

Dan yang terpenting, sadarlah wahai saudaraku, berapa lama waktu kita untuk bermunajat kepada Sang Maha Pencipta? Bandingkan dengan waktu yang kita habiskan untuk mengeruk uang. Renungkan, apa yang telah kita peroleh dari usaha perburuan uang? Kebahagiaan atau kepuasan sesaat? Sangat benar kita memerlukan uang, tapi uang bukan satu-satunya sumber kehidupan. Bukankah untuk menghirup udara segar di pagi hari kita tidak menggunakan uang? Kuncinya adalah dalam kesyukuran. Ya, syukur lah yang akan menjadikan kita kaya, karena merasa berkecukupan dengan rahmat dan nikmat-Nya. Lalu, nikmat manakah yang akan kau dustakan?

#renunganSuksesBahagia

Salam SuksesBahagia !!!

Imam Nugroho

0 komentar:

Posting Komentar

 

Labels

Popular Posts