Selasa, 06 Maret 2012

Tukang Kursi Bambu


Ketika pulang, saya melihat seorang pedagang kursi bambu yang sedang istirahat, berteduh di pinggir jalan di bawah pohon. Sekilas saya menangkap kelitihan yang amat berat diwajahnya. Tetesan keringat diwajahnya melukiskan tanggungjawab dia sebagai kepala keluarga (asumsi saya, dia sudah bekeluarga. Terlihat dari fisiknya yang menua). Mungkin dia sedang membayangkan isti dan anak-anaknya menunggunya pulang dengan membawa hasil jualan kursi bambu. Mungkin juga dia sedang menghitung-hitung berapa besar hutang keluarganya ke warung sebelah, karena belum punya uang ketika mau belanja sembako. 

Sungguh tak dapat dideskripsikan bagaimana pikirannya melayang-melayang jauh entah kemana bersama beban-beban hidupnya. Maklum, dari dua buah kursi yang dibawanya, belum terjual. 
Tersentak saya dari lamunan. Terlalu naïf untuk memikirkan orang lain. Saya harus melihat diri sendiri. Bagaimana dengan saya? Sementara saya juga dapat melihat, penjual kursi tadi, masih memiliki semangat, semangat bertanggungjawab terhadap keluarganya, apapun yang harus dikerjakannya selagi itu adalah jalan halal. Saya malu pada diri sendiri dan juga penjual tadi. Sering saya merasa malas melakukan aktivitas pekerjaan di kantor. Dan lebih parahnya lagi, saya sering kurang bersyukur atas apa yang telah Allah SWT berikan kepada saya. Astaghfirullah. Padahal apa yang telah saya dapatkan, sudah lebih dari cukup.

Entah sudah fitrah atau bukan, kadang manusia merasa selalu kurang dengan apa yang sudah didapatkannya. Pantas jika Rasulullah bersabda: “Jika manusia mendapatkan dua lembah emas, maka dia akan minta yang ketiga .“ Bukan tidak boleh kita berusaha mencari harta, dengan niatan bahwa harta yang didapatkan akan digunakan sepenuhnya dalam rangka ibadah dan mendekatkan diri pada-Nya. Jangan salah, generasi para sahabat-pun memiliki banyak harta. Kita lihat Usman bin Affan. Dia menyumbangkan 1000 ekor unta lengkap dengan perlengkapannya untuk perang. Sudah pasti dia memiliki banyak harta dan keistimewaannya adalah hartanya digunakan untuk dakwah. 

Abdurrahman bin Auf, hartawan sukses yang merajai pasar di Madinah. Mush’ab bin Umair, orang kaya namun ketika syahid kain kafannya tidak cukup untuk menutupi tubuhnya. Dan masih banyak lagi sahabat yang lain, yang menunjukkan bagaimana mereka menggunakan hartanya semata-mata untuk kepentingan dakwah.

Jadikanlah harta yang kita dapatkan dan kita miliki sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Hati-hatilah, jangan sampai kita terjangkit penyakit wahn yaitu cinta harta (dunia) takut mati. Naudzubillahimindzalik. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita dari bix\sikan syaitan yang akan menggelincirkan kita.

Akhirnya saya pulang kerumah dengan mendapatkan ilmu yang sangat berharga dari seorang penjual kursi bambu. Bagaimana agar kita tetap semangat mencari nafkah dan bersabar serta tawakal pada Allah SWT.



Imam Nugroho | MSB
Mindsetter SuksesBahagia

1 komentar:

 

Labels

Popular Posts