Jumat, 20 April 2012

Ratapan Gadis Kecil di Batu Nisan


Sahabat, di bawah ini akan saya kisahkan sebuah cerita ulama besar, Hasan al Bashri. Didalamnya penuh hikmah yang bisa kita ambil sebagai pedoman menuju hidup SuksesBahagia. Sukses semasa hidup di dunia, dan Bahagia tatkala hidup abadi di dalam surga, kelak di yaumul akhir. Mari kita simak bersama kisahnya.

Siang itu, kota Bashrah sedikit tertutup awan mendung. Tidak heran bila, siang itu udara yang biasanya panas berubah menjadi sangat sejuk. Sangat tepat bagi orang yang lelah untuk melepas penatnya sejenak selepas beraktivitas. Hasan Al-Bashri, ulama besar yang lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah ini pun duduk-duduk di depan rumahnya yang sederhana. Tapi tiba-tiba lewat beberapa orang mengusung keranda jenazah. Hasan pun segera bergabung dalam iring-iringan pengantar jenazah tersebut.

Dari belakang tampak seorang gadis kecil berlari-lari kecil sambil menangis, menyusul iring-iringan itu. Ternyata, gadis itu adalah anak dari orang yang jenazahnya sedang diusung. “Ayah! Mengapa engkau begitu cepat menginggalkan aku!” rengek gadis kecil itu terus-menerus hingga selesai proses pemakamannya.

Saat semua sudah pulang, gadis itu masih berderai air matanya. Tidak heran bila dalam hati kecil Hasan Al-Bashri timbul perasaan iba terhadapnya yang telah merasa kehilangan kasih sayang ayahnya. Maka, ia putuskan untuk bertakziyah ke rumah gadis itu guna menghibur kepedihan yang baru saja dialaminya.
 
Esok harinya, tatkala Hasan Al-Bashri hendak ke rumah gadis kecil itu, ternyata dia sudah muncul melintas di depan rumah Hasan. Sambil menangis dan berteriak, ia menuju makam ayahnya. Hasan pun mengikutinya dari belakang, ingin mengetahui apa yang akan dilakukan gadis kecil itu.

Sesampai di depan makam ayahnya, gadis itu memeluk makamnya dengan pipi kanan diletakkan digundukan tanah merah sembari meratap. Dibalik persembunyiannya, Hasan mendengar apa yang diucapkan gadis kecil itu. “Ayah … malam tadi engkau terbaring sendirian dalam kubur yang gelap ini. Jika malam sebelumnya aku bisa menyalakan lampu untukmu, siapakah yang bisa menerangimu sekarang? Jika malam sebelumnya aku bisa menggelarkan tikar untuk alas tidurmu, siapakah sekarang yang menggelarkannya untukmu ayah? Jika malam sebelumnya aku bisa memijit-mijit ayah, siapakah sekarang yang memijitmu ayah?”

“Ayah … jika malam sebelumnya aku yang menyelimutimu tatkala engkau kedinginan, sekarang siapakah yang melakukannya untukmu? Jika malam sebelumnya ayah masih bisa memanggilku dan aku pun menjawab, lalu siapakah semalam yang engkau panggil dan siapa pula yang menjawabmu? Jika hari sebelumnya ayah minta makan dan memintaku menyiapkannya, apakah semalam ayah makan dan siapa yang menyiapkannya?”

Hasan, yang mendengarkan ratapan gadis itu, tak kuasa menahan air matanya. Maka dicobanya mendekati gadis kecil itu sembari member nasehat. “Wahai anakku, janganlah engkau ucapkan kata-kata seperti itu. Seharusnya engkau ucapkan kata-kataku ini: “Ayah, engkau telah ku kafani dengan kafan yang bagus, masihkah engkau memakainya? Kata orang shalih, kain kafan orang yang meninggal ada yang diganti dengan kain kafan dari surga dan ada pula yang dari api neraka. Manakah diantara kain kafan itu yang ayah kenakan?

“Ayah, kemarin aku telah meletakkan tubuhmu yang segar bugar dalam kubur. Masih bugarkah tubuh ayah sekarang? Ayah, para ulama mengatakan, semua manusia akan ditanya tentang keimanannya. Ada yang bisa menjawab dengan lancar, namun ada pula yang tak mampu menjawabnya. Apakah ayah bisa menjawab atau hanya diam membisu?”

“Ayah, katanya kuburan itu bisa menjadi luas atau bertambah sempit tergantung amal penghuninya sewaktu hidup di dunia. Bahkan, katanya kuburan itu bisa merupakan secuil taman surga, namun bisa juga merupakan lubang besar menuju neraka. Apakah kuburan ayah sekarang ini bertambah luas atau semakin menyempit, taman surga atau lubang neraka?”

Hasan membelai gadis itu sembari mengajarkan kata-kata yang tepat untuk ayah gadis kecil yang telah almarhum itu, dengan penuh kasih sayang kebapakan. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya,

“Ayah, katanya liang kubur bisa menghangati mayat sebagaimana pelukan seorang ibu kepada anaknya, tetapi bisa juga seperti lilitan ular yang dapat meremukkan badan atau tubuh mayit. Bagaimanakah keadaan tubuh ayah sekarang?”

“Ayah, katanya orang yang berada dalam kubur itu ada yang menyesali, mengapa sewaktu hidup di dunia tidak memperbanyak amal shalih dan ada yang menyesali mengapa dulu melakukan maksiat. Apakah ayah termasuk yang menyesali perbuatan maksiat atau karena sedikit melakukan amal shalih?”

“Ayah, dulu setiap aku memanggilmu, engkau selalu menjawab. Namun kini, setiap aku memanggil, engkau tak akan pernah menjawab. Kini kita telah terpisah dan tak akan bertemu sampai hari kiamat. Semoga Allah tidak menghalangi perjumpaanku denganmu, ayah ….”

Gadis kecil itu pun terdiam sejenak. Tak lama kemudian ia berkata,”Nasihat tuan sangat baik sekali. Saya menyampaikan terima kasih banyak.”

Setelah berucap demikian, gadis itu mendoakan ayahnya dengan lembut tanpa ratapan. Kemudian Hasan Al-Bashri mengajaknya pulang. Di rumah, gadis kecil itu makin tekun beribadah dan tumbuh menjadi muslimah yang taat dan rendah hati.

Sahabat,

Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kisah tersebut di atas? Ya, itu adalah nasehat untuk kita juga. Bahwasannya kita akan kembali pulang menuju tempat asal kita. Kehidupan kita ini ibarat sebuah lingkaran yang berawal pada satu titik, semakin lama semakin jauh, namun semakin mendekati dan menuju titik awal dari mana kita memulainya.

Oleh karenanya, bukan kapan kita akan kembali ke titik awal, dimana kita kembali ke titik awal. Namun, sedang dalam perbuatan atau amalan apa kita tiba di titik awal, dan bekal apa yang kita bawa untuk kehidupan yang sesungguhnya?

Wallahua’lam. Semoga menjadi alat muhasabah diri, agar senantiasa menyiapkan diri untuk berjumpa dengan-Nya.


Salam SuksesBahagia !!!

Imam Nugroho | MSB
Mindsetter SuksesBahagia

0 komentar:

Posting Komentar

 

Labels

Popular Posts