Rabu, 04 Januari 2012

Tangga 2 SuksesBahagia # Konsisten Dalam Kebaikan (bagian 2)




Konsistensi Membawa Kebahagiaan dan Kesuksesan

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan :"Tuhan kami adalah Allah SWT"kemudian mereka istiqomah, maka para malaikat akan turun kepada mereka(dengan mengatakan) Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah SWT kepadamu. (Q.S. Fushshilat [41] :30)

Ayat di atas menyebutkan bahwa orang yang istiqamah (konsisten), akan optimis (berani, tidak takut) dan tidak merasa sedih selama hidup di dunia, serta mendapatkan kegembiraan di akhirat dengan surga yang di janjikan-Nya.

Hal itu merupakan sebuah konsekuensi atas konsistensi kita. Kita akan dekat dengan Tuhan. Kebahagiaan akan senantiasa menyelimuti hati dan kehidupan kita. Dan kesuksesanpun akan didapatkan. Sulitkah untuk mencapai sebuah konsistensi dalam hidup ini ?
Kesulitan ada bagi manusia yang tidak memiliki komitmen diri. Kesulitan ada bagi manusia yang “tidak yakin” dengan janji Allah. Kesulitan ada bagi manusia yang menganggap bahwa konsisten adalah beban berat.

Agar kita mudah meraih derajat konsistensi, yang harus kita lakukan adalah dengan memandang buah atau hasil dari tindakan konsistensi kita. Artinya, kita memfokuskan diri akan kebahagiaan dan kesuksesan yang akan kita raih. Saya jamin, kita semua ingin mendapatkannya, bukan ?

Seperti seekor kucing yang menginginkan ikan di atas meja. Kucing itu akan terus focus dan mencari waktu yang tepat untuk meraihnya. Dengan fokusnya itu, kucing pun perlahan-lahan mendekati ikan yang diinginkannya. Meskipun sangat sulit untuk meraihnya, tapi dengan focus yang dimilikinya itu, akhirnya kucing pun mampu mendapatkan ikan yang ada di atas meja.

Begitupun dengan kita. Fokuskanlah diri ini kepada hasil yang akan didapatkan, yaitu kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. Maka, secara perlahan, sifat kosistensi akan kita miliki. Dan pada akhirnya akan menjadi karakter kita.

Konsisten Tidak Flat (Lurus, Ajeg, Tetap)

Saya lebih suka mendefinisikan istiqamah (konsisten) dengan kata TEGUH, bukan lurus atau tetap. Mengapa ? Karena kehidupan manusia terbatasi oleh ruang dan waktu. Dimana ke-dua hal itu akan mengalami yang namanya perubahan.

Ada sebuah cerita dari seorang ustadz yang bernama Pak S.Pd. Mengapa titel S.Pd saya sebutkan, karena itu merupakan sebuah prestise baginya dan ia akan marah bila namanya disebut tanpa disebutkan pula titel S.Pd-nya. Karena ke-S.Pd-annya itu, Pak S.Pd pun kerap kali diminta kesediaannya untuk tampil pada setiap kegiatan keagamaan di kampung kami.

Pada pengajian mingguan yang rutin diadakan di musholla kami, ia sering diminta untuk tampil memberikan sedikit mukadimah atau ceramah pembuka. Isi ceramahnya tentang “Istiqomah”. Katanya, kalau kita istiqomah dalam menjalankan agama, maka Tuhan akan menurunkan rahmatnya.

Kemudian ketika Pak S.Pd diminta kembali untuk mengisi sambutan pada peringatan mauled nabi, kembali ia membawakan tema dan isi yang sama tentang “Istiqomah”. Lalu pada kesempatan sholat taraweh, Pak S.Pd kembali dipercaya untuk membawakan kultum. Dan, lagi-lagi ia berbicara tentang “Istiqomah”. Jadi, pada setiap tampil memberikan ceramah di depan publik, Pak S.Pd selalu membawakan tema tentang “Istiqomah”.

Akhirnya salah seorang warga di kampung kami ada memperhatikan hal tersebut. Dia berkata kepada kami pada suatu kesempatan berkumpul di musholla. “Mengapa ya, Pak S.Pd yang satu itu setiap kali diberi kesempatan ceramah di acara apa saja selalu membawakan tema istiqomah, seolah dalam agama itu tidak ada lagi tema yang lain?”

“Ooooo….,” jawab teman saya yang lain, “Itu artinya beliau memang orang yang istiqomah alias konsisten.”

“Maksudnya?”

“Pak S.Pd itu memang orang yang istiqomah. Buktinya ‘kan setiap kali menyampaikan ceramah beliau selalu istiqomah dengan temanya. Nah, karena ia orang yang istiqomah makanya dia tidak pernah menyampaikan ceramah dengan tema yang lain selain tema istiqomah walau terkesan ia selalu mengulang-ulangnya. Beliau ingin membuktikan pada dunia bahwa manusia itu harus satu antara sikap dan perkataannya. Beliau ingin menunjukkan integritasnya, gitu,” kata teman menjelaskan.

“Ooooo… gitu ya. Baru paham dah kita,” ungkap satunya.

Nah, besoknya pada kesempatan pengajian pemuda di musholla, ketika Pak S.Pd dipercaya untuk tampil ceramah, jamaah yang hadir pun sudah bisa menebak apa isi ceramahnya, “Pasti tentang istiqomah lagi, nih!” Dan, ternyata betul juga. Isi ceramahnya kembali masalah istiqomah.

“Benar-benar orang yang istiqomah bapak yang satu ini…,” pikir jamaah.

Aha, apakah ustadz tersebut bisa dikatakan orang yang istiqamah (konsisten). Menurut saya tidak, tapi AJEG, tetap, datar, dan lurus, sehingga cenderung membosankan.

Sementara ke-teguh-an, mengisyaratkan adanya sebuah perubahan (yang disebabkan oleh tantangan), tanpa harus mengubah prinsip (keimanan) yang telah diyakininya. Sehingga, hal ini senada dengan konsep konsisten yang diperkenalkan oleh Drs. Ahsin W. Al-Hafidz, M.A sebagai berikut: istiqomah (sifat konsisten) adalah keadaan atau upaya seseorang untuk tetap teguh mengikuti jalan lurus yang telah ditunjuk oleh Allah.

Tengoklah kisah Bilal bin Rabah, sahabat Rasul. Ketika disiksa dengan penyiksaan yang terkejam, dia “konsisten” dengan prinsip keimanannya. “Ahad, Ahad, Ahad….” Yach, hanya itulah yang selalu terucap ketika setiap pukulan dan cambukan menghujani tubuhnya.

Konsistensi lain yang ditunjukkan Bilal ini adalah menjalankan shalat sunah setelah berwudhu (orang memeberi nama syukrul wudhu), sehingga Rasul bermimpi jika terompahnya Bilal berjalan-jalan di syurga. Setelah diketahui ternyata, Bilal konsisten mengerjakan shalat sunah syukrul wudhu itu.

Atau kisah dari seorang putra mahkota, yang kerajaan dan orang tuanya (rajanya) direbut dan dibantai. Putra mahkota itu pun dijadikan tawanan para pemberontak. Untuk menghancurkan masa depan putra mahkota, para pemberontak membuangnya pada sebuah pulau yang dipenuhi dengan kemaksiatan, keangkara murkaan, tembat perjudian, tempat perjinahan, tempat minuman keras beredar dengan bebas. Namun setelah hampir satu tahun, putra mahkota itu tidak “terlibat” dalam praktek kemaksiatan itu. Maka penasaranlah para pemberontak yang menahannya kemudian bertanya, “Hai putra mahkota, mengapa kau tidak tertarik untuk minum-minuman keras, jinah, dan judi di tempat ini ?”. Sang putra mahkota menjawab, “Sejak aku dilahirkan, aku telah disiapkan untuk menjadi seorang raja. Maka sangat tidak pantas, jika calon raja berbuat sekehendak nafsunya !”

Yah, putra mahkota dalam cerita di atas dengan jelas menggambarkan sebuah konsistensi diri terhadap prinsip hidupnya. Prinsip hidupnya adalah tidak layak sorang (calon) raja berbuat sekenhendak nafsunya seperti binatang. Bagaimana jadinya jika seperti itu ?


Jadi, konsisten adalah bentuk keteguhan terhadap prinsip (keimanan), meskipun halangan dan tantangan selalu datang menggoda. 



(bersambung)






KAMAL, Imam
Mindsetter SuksesBahagia

0 komentar:

Posting Komentar

 

Labels

Popular Posts